Berita

Detail Berita
Foto JDIH Bolmut
06-October-2020 || Dibaca 55 Kali
Baleg DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI setujui RUU Cipta Karya Segera Diparipurnakan

RUU Omnibus Law Cipta Kerja tak hanya ditolak sejumlah fraksi, tetapi juga buruh, LBH, dan aktivis di seluruh Indonesia. Mereka menilai, RUU Cipta Kerja Omnibus Law ini akan merugikan pekerja dan buruh serta mengancam HAM.

Menurut Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian yang mewakili Pemerintah, Elen Setiadi, ada tujuh poin terkait perubahan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ada dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law.

Salah satu poinnya menurut dia, terkait program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan sangat diperlukan pada saat pandemi COVID-19.

"Substasi pokok yang kami usulkan adalah program jaminan kehilangan pekerjaan, yang belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dan ini harus dilaksanakan dengan cepat," kata Elen dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker, di Jakarta, Sabtu (3/10/2020).

Dia menjelaskan, program itu dibutuhkan karena akan memberikan manfaat bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti pemberian upah setiap bulan tergantung kesepakatan yang ditanggung dalam program tersebut, pelatihan peningkatan kapasitas sesuai pasar kerja, dan kemudahan mendapatkan pekerjaan baru.

Menurut dia, pekerja yang mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan lima jaminan sosial lainnya yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian, dan Jaminan Kesehatan Nasional.

Poin kedua menurut dia, terkait waktu kerja, di UU Ketenagakerjaan hanya diatur bahwa waktu kerja adalah untuk 6 hari kerja adalah 7 jam/hari atau 40 jam/pekan, dan untuk 5 hari kerja adalah 8 jam/hari atau 40 jam/pekan.

"Dalam perubahan di RUU Ciptaker, selain waktu kerja yang umum (paling lama 8 jam/hari dan 40 jam/minggu), diatur juga waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus, yang waktunya dapat kurang dari 8 jam/hari (pekerjaan paruh waktu eko digital) atau pekerjaan yang melebihi 8 jam/hari seperti migas, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan perikanan," ujarnya.

Poin ketiga menurut dia, terkait Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), dalam UU 13/2003 sifatnya wajib bagi semua TKA, menghambat masuknya TKA Ahli yang diperlukan dalam keadaan mendesak, dan menyebabkan terhambatnya masuknya calon investor ke Indonesia.

Dia menjelaskan, dalam RUU Ciptaker, kemudahan pemberian RPTKA diatur hanya untuk TKA Ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu seperti kondisi darurat, vokasi, peneliti, dan investor.

Poin selanjutnya menurut dia terkait Pekerja Kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), di UU Ketenagakerjaan belum diberikan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap.

"Ke depan kami ingin melakukan perubahan karena perkembangan teknologi digital khususnya industri 4.0 menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan PKWT. Kami ingin pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan sama dengan pekerja tetap seperti upah jaminan sosial, perlindungan K3 termasuk kompensasi hubungan kerja," katanya.

Dia menjelaskan poin kelima, terkait pekerja alih daya atau "outsourcing", di UU 13/2003 hanya dibatasi untuk jenis kegiatan tertentu, dan belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja alih daya.

Elen menjelaskan dalam RUU Ciptaker, alih daya merupakan bentuk hubungan bisnis sehingga pengusaha alih daya wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya, baik sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap yaitu dalam hal hak upah, jaminan sosial, dan perlindungan K3.

Menurut dia, untuk poin keenam terkait upah minimum (UM), di UU Ketenagakerjaan dapat ditangguhkan sehingga banyak pekerja dapat menerima upah di bawah upah minimum, peraturan UM tidak dapat diterapkan pada usaha kecil dan mikro, kenaikannya menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, dan adanya kesenjangan nilai UM di beberapa daerah.

"Dalam RUU Ciptaker, UM tidak dapat ditangguhkan, kenaikannya menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas, basis UM pada tingkat provinsi dan dapat ditetapkan UM pada kabupaten/kota dengan syarat tertentu, dan upah untuk UMKM tersendiri," ujarnya.

Poin terakhir menurut dia, terkait pesangon PHK, di UU 13/2003, pemberiannya sebanyak 32 kali upah dan dinilai sangat memberatkan pelaku usaha, dan mengurangi minat investor untuk berinvestasi.

Dia menjelaskan, di RUU Ciptaker diatur terkait penyesuaian perhitungan besaran pesangon PHK dan menambahkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Elen mengatakan terkait sanksi pidana, pemerintah sepakat untuk kembali kepada UU Ketenagakerjaan sehingga tidak perlu dibahas di RUU Ciptaker. Dia juga menegaskan pemerintah akan mengikuti sejumlah Putusan MK atas berbagai pasal dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Putusan MK itu antara lain tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan jaminan sosial.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja Ancam HAM
Menurut Amnesty Internasional, RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional.

“Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Jika disahkan, RUU ini bisa membahayakan hak-hak pekerja," ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

RUU Ciptaker akan merevisi 79 undang-undang yang dianggap dapat menghambat investasi, termasuk tiga undang-undang terkait ketenagakerjaan: UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional.

Dalam RUU Ciptaker, undang-undang tersebut akan disusun ulang menjadi 11 klaster yang terdiri dari 1.244 pasal. Pemerintah selalu berdalih bahwa RUU Ciptaker bertujuan untuk meningkatkan investasi dan mempermudah bisnis. Namun, Amnesty meyakini RUU ini justru akan melemahkan perlindungan hak-hak pekerja.

Amnesty berpendapat, secara substansi, RUU Ciptaker tidak sesuai dengan standar HAM internasional. RUU tersebut dapat merampas hak pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).

Kondisi tersebut termasuk upah yang adil, upah yang sama untuk beban kerja yang sama, lingkungan kerja yang aman dan sehat, pembatasan jam kerja yang wajar, perlindungan bagi pekerja selama dan setelah masa kehamilan, dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja.

Dalam RUU Ciptaker, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. RUU ini juga akan menghapus Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK). Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.

“Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua."

“Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional," kata Usman.

RUU Cipta Kerja juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap.

Ketentuan baru ini akan memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.

Perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap. Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap, sehingga seterusnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai, termasuk pensiun, cuti tahunan selama 12 hari (untuk pekerja sementara yang bekerja di bawah satu tahun), dan kompensasi untuk pemutusan hubungan kerja.

Ini merupakan kemunduran dari undang-undang yang ada dan, lagi-lagi, bertentangan dengan standar HAM internasional.

Di pasal lain, ada pula ketentuan yang dapat membuat pekerja untuk bekerja lebih lama, dengan meningkatkan batas waktu lembur dari dari tiga jam per hari seperti yang ditetapkan oleh UU Ketenagakerjaan, menjadi empat jam per hari, serta dari 14 jam menjadi 18 jam per minggu.

Tidak hanya itu, RUU ini juga mengatur bahwa untuk sektor tertentu, perusahaan akan diberikan keleluasaan untuk membuat skema sendiri terkait penghitungan besaran kompensasi lembur.

“Keleluasaan yang diberikan kepada perusahaan dalam menentukan skema penghitungan dapat merugikan pekerja di sektor tertentu karena mereka bisa saja diharuskan bekerja lebih lama dan menerima upah lembur yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja dari sektor lain," kata Usman.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga dinilai merugikan pekerja karena menghapus beberapa bentuk cuti berbayar, termasuk cuti haid, cuti pribadi (seperti pernikahan, sunat, pembaptisan, atau kematian anggota keluarga), cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan. Selama ini, jenis-jenis cuti tersebut merupakan cuti tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.

“Pemerintah dan DPR harus segera mengkaji ulang pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar HAM. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi, sejalan dengan hukum nasional dan standar HAM internasional," ujar Usman.

Masyarakat yang ingin melihat rekam jejak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan mengunduh draft bisa melalui tautan di bawah ini
http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/442

Sumber: Tirto.id